Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dampak Buruk Politik Uang dalam Pemilihan Umum

Dampak Buruk Politik Uang dalam Pemilihan Umum

Media Desa Info - Dampak Buruk Politik Uang dalam Pemilihan Umum - Praktik Money Politic dan Serangan Fajar Membahayakan Demokrasi dan Kepentingan Masyarakat

Media Desa Info - Dampak Buruk Politik Uang dalam Pemilihan Umum - Praktik Money Politic dan Serangan Fajar Membahayakan Demokrasi dan Kepentingan Masyarakat

Setiap kali mendekati pemilihan umum, calon kepala daerah atau anggota legislatif sering membuat janji-janji manis kepada masyarakat. Beberapa dari mereka bahkan memberikan uang atau sembako kepada masyarakat. Tanpa disadari, tindakan ini tergolong politik uang, sebuah praktik koruptif yang bisa mengarah pada berbagai bentuk korupsi lainnya.

Politik Uang: Mengintai di Balik Janji Manis

Politik uang, atau money politic, adalah usaha untuk mempengaruhi pilihan pemilih atau penyelenggara pemilu dengan memberikan imbalan berupa uang atau hal lainnya. Praktik ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk suap. Praktik politik uang ini akhirnya menghasilkan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat yang memilihnya. Mereka merasa memiliki kewajiban untuk mendapatkan keuntungan dari jabatannya, seperti mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye.

Politik Uang: "Induk Korupsi"

Setelah memenangkan pemilihan, mereka sering terlibat dalam berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi, atau bentuk korupsi lainnya. Tak heran jika politik uang disebut sebagai "induk korupsi" atau "mother of corruption". Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menyatakan bahwa politik uang telah membuat politik menjadi mahal. Selain membeli suara, para kandidat juga harus membayar "mahar politik" kepada partai dengan jumlah yang fantastis.

Investasi Korupsi: Politik Uang sebagai Korupsi Masa Depan

Jumlah tersebut tidak hanya berasal dari sumber pribadi, tetapi juga dari sumbangan berbagai pihak yang mengharapkan imbalan jika kandidat tersebut terpilih. Perilaku ini disebut sebagai korupsi berinvestasi, di mana investasi tersebut ditujukan untuk melakukan korupsi di masa mendatang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh KPK, sekitar 95,5% kesuksesan dalam pemilihan umum atau pilkada dipengaruhi oleh kekuatan uang, yang sebagian besar digunakan untuk membayar "mahar politik". Para kontestan harus mengeluarkan biaya antara 5 hingga 15 miliar rupiah per orang untuk tujuan ini.

Serangan Fajar: Bentuk Praktik Politik Uang yang Merusak

Salah satu bentuk vote buying yang sering terjadi adalah "serangan fajar". Serangan fajar merupakan pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pemilihan dilakukan. Hal ini bisa dilakukan pada subuh sebelum hari pemilihan atau bahkan beberapa hari sebelumnya. Dalam buku berjudul "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014", disebutkan bahwa pembelian suara dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan bertujuan untuk memperoleh jumlah suara yang besar. Praktik ini melibatkan mobilisasi tim yang besar untuk melakukan pendataan dan penyebaran ribuan amplop uang, serta memastikan penerima amplop tersebut benar-benar menggunakan suaranya untuk memilih pemberi amplop.

Perangkap Demokrasi: Dampak Politik Uang terhadap Masyarakat

Serangan fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seolah menjadi bagian dari proses demokrasi di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa masyarakat melihat pemilihan umum sebagai ajang "bagi-bagi rezeki". Dalam survei tersebut, ditemukan bahwa 40% responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tetapi tidak mempertimbangkan untuk memilih mereka. Sementara itu, 37% responden menerima uang dan mempertimbangkan untuk memilih pemberi uang tersebut. Bukan hanya dari perspektif masyarakat, tetapi dari perspektif politisi juga, serangan fajar telah menciptakan tradisi buruk dalam demokrasi. Politisi menganggap vote buying adalah hal yang wajar dan harus dilakukan untuk mengalahkan lawan dalam pemilihan.

Munculnya Pemimpin yang Tidak Layak dan Akibatnya pada Korupsi

Praktik politik uang yang mempengaruhi pilihan akhirnya berdampak buruk bagi masyarakat itu sendiri. Praktik ini menghasilkan pemimpin yang tidak pantas memimpin. Kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemimpin tersebut kurang mewakili dan tidak akuntabel. Kepentingan rakyat menjadi prioritas kedua setelah kepentingan pribadi, para donatur, atau partai politik. Amir mengatakan, "Figur yang terpilih akhirnya memiliki karakter yang pragmatis, bukan berkompeten atau berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apapun, dan bukanlah sosok pemimpin yang ideal."

Pemimpin yang terpilih melalui politik uang ini juga akan mendorong terjadinya korupsi di sektor lain. Hal ini terjadi karena mereka mengumpulkan uang sebagai "pengembalian modal" yang telah dikeluarkan selama kampanye. Korupsi dapat terjadi di dalam instansi yang dipimpin oleh mereka, seperti dalam jual-beli jabatan atau pengadaan barang dan jasa. Dampaknya pada masyarakat, akan terjadi regulasi yang tidak menguntungkan mereka, pungutan liar, dan pemotongan anggaran untuk kesejahteraan. Amir menjelaskan, "Dampaknya pada masyarakat adalah munculnya pungutan liar karena pemimpin harus mencari sumber dana lainnya. Mereka juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangunan menurun. Masyarakat akan merasakan kerugian langsung dan tidak langsung."

sumber : pusat edukasi anti korupsi
Kata Kunci : Hukum Politik, pemilu 2024, politik uang, undang undang pemilu

Posting Komentar untuk "Dampak Buruk Politik Uang dalam Pemilihan Umum"